Bagi saya punya anak itu terlambat.
![]() |
ilustrasi foto dari Pexels |
Saya punya latar belakang yang tidak begitu bagus sebagai individu. Saya bukanlah berasal dari keluarga berada. Hingga di usia 23 ini saya masih belum menemukan jati diri saya. Saya masih miskin dan belum menemukan pekerjaan tetap. Saya punya hubungan buruk dengan keluarga saya. Saya punya inner child dan trust issue yang perlu disembuhkan.
Rekam jejak saya yang singkat akan cukup menilai bahwa banyak hal yang perlu saya perbaiki, sebelum membawa anak mungil tanpa dosa ke dalam dunia yang sangat kejam dan chaos ini.
Di usia 23 sampai 30an saya belum bisa menikah, apalagi menghadirkan seorang anak di kehidupan saya. Pekerjaan saya belum stabil. Saya masih jungkir balik untuk memenuhi kebutuhan saya pribadi. Apalagi memenuhi kebutuhan seorang bayi yang begitu fragile.
Untuk saat ini, saya masih berusia 23 tahun sampai awal 30an, saya akan fokus untuk mencari pekerjaan tetap. Saya ingin menabung untuk melanjutkan studi saya. Menabung untuk masa tua. Saya berencana untuk mendaftar panti jompo untuk saya sendiri, kelak.
Di awal 30an sampai usia 40, mungkin saya sudah punya pekerjaan tetap. Saya akan mulai menyisihkan uang untuk membeli properti, pergi ke psikiater untuk terapi mental, atau mewujudkan keinginan saya yang belum tergapai di masa muda.
Karena saya masih berfokus dengan diri saya sendiri, saya tidak mungkin memiliki anak. Kehadiran anak hanya menghambat proses penyembuhan diri saya. Saya tidak bisa berdamai dengan inner child saya, saya tidak bisa berpergian jauh karena punya seorang bayi, dan secara mental saya belum siap punya anak.
Mungkin di usia 30an saya baru berani mencari pasangan. Karena secara keuangan sudah stabil, dan tidak perlu bergantung pada orang tua maupun laki-laki. Saya mungkin juga berani untuk menikah di usia ini, dengan catatan saya menemukan laki-laki yang satu frekuensi dengan saya.
Realitanya pasti sulit untuk menemukan pasangan yang satu visi dan misi dengan saya. Yang sama-sama tidak menginginkan kehadiran anak. Apalagi laki-laki di negara yang masih menjunjung paham bahwa tujuan menikah ya punya anak.
Kalaupun saya belum bisa menemukan tambatan hati saya di usia 30, yang mendekati middle age. Saya tidak masalah. Saya akan tetap melanjutkan hidup saya, sendirian. Di usia ini saya akan melatih hati sekuat baja jikalau suatu saat saya dibilang perawan tua.
Tiba di usia 40, usia emas rata-rata orang. Di usia ini mungkin saya dan pasangan saya sudah memiliki cukup tabungan, mampu membeli properti, dan secara mental, saya sudah selesai dengan diri saya sendiri. Secara mental dan finansial, saya mampu dan siap untuk menjadi ibu.
Tapi, belum tentu secara fisik saya mampu untuk hamil dan melahirkan. Karena endurance dan pertahanan tubuh saya tidak seperti saya waktu umur 20an, resiko kesehatan pasti akan ada jika saya kekeh untuk hamil. Apalagi gaya hidup saya sekarang tidaklah sehat. Saya punya riwayat penyakit darah rendah, dan harus minum suplemen tambah darah secara berkala. Ditambah, saya pernah didiagnosa kurang gizi, nutrisi, dan defisiensi vitamin B.
Mungkin di usia itu saya tidak bisa hamil dan punya anak secara biologis. Saya akan berdiskusi dengan pasangan saya apakah harus mengadopsi anak. Dengan catatan, saya sudah berpasangan. Jika saya belum bersuami, sangat mustahil memiliki anak adopsi karena tidak ada undang-undangnya.
Mungkin di usia 40an itu, saya akan memulai hidup filantropis, sambil terus melanjutkan karir saya. Saya ingin menghabiskan waktu luang saya menjadi relawan, merawat anak yatim, atau ikut gerakan lingkungan, dan semacamnya.
Dan saya akan tetap melanjutkan hobi dan mimpi-mimpi saya yang sempat koma. Bercengkerama sebentar dengan teman-teman saya di akhir pekan. Mungkin, saya akan menambah jumlah kucing yang ada dalam kandang rumah saya.
Begitulah alur hidup saya sampai saya jadi nenek-nenek. Jika tiba waktunya menjadi lansia, saya ingin merebahkan diri saya di salah satu kamar panti jompo. Saya akan bercerita dengan teman-teman saya sesama lansia tentang masa muda saya, bagaimana kehidupan saya tanpa anak, bagaimana saya deal dengan itu. Saya juga akan mendengarkan cerita mereka tentang cucu, menantu, dan anak mereka.
Itulah rencana kehidupan saya, terlambat sudah punya anak bagi saya. Saya sibuk menata kondisi finansial, menyembuhkan mental, membahagiakan diri saya sendiri, mengubah pola hidup yang lebih sehat. Bagi saya, butuh waktu berdekade-dekade untuk mewujudkan semua itu.
Sebagian orang pasti akan berkata, bahwa saya akan berubah pikiran dan menyesal di kemudian hari. Bahwa saya akan kesepian dan menderita tanpa keluarga. Family means different things to different people. Sepasang kekasih dan anak-anaknya memanglah sebuah keluarga, sepasang kekasih tanpa anak juga disebut keluarga, sekawan sahabat juga keluarga, seseorang dengan sebelas kucingnya juga keluarga, seseorang dengan tanaman kesayangannya jugalah keluarga. (saya lupa dapat quote ini dari mana)
Jika saja, saya punya masa lalu dan masa kecil yang tidak begitu buruk, maka saya tidak akan terluka seperti ini. Jika saja, saya berasal dari keluarga berada dan bisa kuliah di PTN ternama, mungkin saya bisa menemukan pekerjaan impian saya. Dan saya bisa menabung lebih cepat. Saya bisa saja memangkas usia-usia yang saya gunakan untuk memperbaiki banyak hal.
Sayangnya, realita berkata sebaliknya, yang perlu saya lakukan saat ini adalah belajar menerima konsekuensi yang akan saya hadapi kelak.
Komentar
Posting Komentar